|
Dr. Adian Husaini |
KAMPUS Universitas Ibn Khaldun Bogor, pada Selasa, 20 Oktober 2015 lalu, kembali mencatat sejarah penting. Hari itu, UIKA Bogor melahirkan seorang Doktor Pendididikan Islam dengan keahlian khusus di bidang Pendidikan Sains Islam. Adalah Dr. Wido Supraha, pakar bidang IT, yang berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Sejarah Perkembangan Sains Menurut George Sarton dan Aplikasinya dalam Pengajaran Sains di Sekolah Menengah Atas”.
Disertasi itu dipromotori oleh Prof. Dr. Didin Hafhidhuddin, MA., dan H. Adian Husaini, M.Si.,
Ph.D. Sedangkan Tim Penguji terdiri atas Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, MS., H. Nirwan Syafrin, MA., Ph.D., dan H. Hendri Tanjung, Ph.D. Wido
lulus dengan judisium cum laude. Disertasi Dr. Wido Supraha ini telah membongkar persoalan besar di Indonesia, dimana pengajaran sains di sekolah-sekolah umum dan universitas telah berlangsung sekian lama namun tidak pernah mengalami perbaikan secara signifikan dan mendasar, apalagi jika dikorelasikan dengan target besar Pendidikan Nasional.
Pengajaran sains yang telah berjalan terlihat tidak mengkaitkan sama sekali dengan kebesaran Allah Subhanahu Wata’ala, dan menyembunyikan fakta-fakta kunci dalam Sejarah Perkembangan Sains. Persoalan besar lainnya, pengajaran sains sangat berorientasi pada nilai akademik dan tidak menghidupkan ruh dan adab peserta didik untuk berpikir dan berkontribusi positif. Pengajaran sains yang tidak integratif dengan mata ajar sains lainnya, metode pengajaran, dan pandangan hidup yang ter-Barat-kan menjadi pelengkap persoalan tersebut.
Untuk membuktikan pernyatannya, Dr.
Wido
Supraha
meneliti
beberapa
buku
panduan
Pembelajaran
Biologi
untuk
SMA dan
MA Kelas
X yang diterbitkan
oleh
Kementerian
Pendidikan
Nasional
yang telah
lulus dari
penilaian
Badan
Standar
Nasional
Pendidikan
(BSNP) dan
telah
dinyatakan
layak
sebagai
buku
teks
pelajaran
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Pendidikan
Nasional
Nomor
22 Tahun
2007 tanggal
25 Juni
2007 tentang
“Penetapan
Buku
Teks
Pelajaran
yang Memenuhi
Syarat
Kelayakan
untuk
Digunakan
dalam
Proses
Pembelajaran”.
Pada
buku
ini
ditemukan
persoalan-persoalan
besar
yang sangat
substansial.
Sedikit
contoh
yang bisa
diambil
misalkan
pada
Buku
Biologi.
Pada
sub-tema
pembahasan
“Konsep-konsep
tentang
Asal
Mula
Kehidupan”,
dibahas
bahwa
kehidupan
asalnya
dari
lautan
dan
bahwa
kehidupan
asalnya
dari
udara.
Pada
sub-tema
pembahasan
“Teori
Asal-usul
Kehidupan”,
kembali
diangkat
teori
abiogenesis,
yakni
pernyataan
Aristoteles
bahwa
makhluk
hidup
terjadi
secara
spontan,
dan
teori
biogenesis, bahwa makhluk
hidup
berasal
dari
makhluk
hidup
lain yang tidak harus
sejenis.
Demikian
juga
pada
pembahasan
Teori
Evolusi
yang dikaitkan
dengan
asal-usul
kehidupan
disebutkan
di
dalam
kandungan
buku
ajar: “Manusia dikaruniai Tuhan akal dan pikiran. Tuhan berkehendak agar dengan akal dan pikirannya itu, manusia mau berpikir tentang makhluk ciptaan Tuhan, yaitu makhluk hidup dan alam semesta. Berbekal ilmu pengetahuan manusia ingin menyibak tabir misteri kehidupan tentang bagaimana alam semesta diciptakan.” (Lihat
buku
Biologi
Untuk
SMA & MA Kelas
XII,
Jakarta: Pusat
Perbukuan
Departemen Pendidikan
Nasional,
2009, hlm.
192).
Dalam
buku
pelajaran,
Fisika
dikenalkan
berasal
dari
bahasa
Yunani
yang berarti
“alam”.
Padahal
terminologi
fisis dalam
bahasa
Yunani
merujuk
kepada
pengertian
metode
yang sistematis,
bukan
natural. Adapun
terjemahan
yang cocok
bagi
kata
alam
adalah
thabi’ah
dalam
bahasa
Arab, atau
nature dalam
bahasa
Inggris.
Fisika
dikenalkan
sebagai
sesuatu
telah
berkembang
di
era Galileo dan
Newton hanya
karena
teori
yang telah
disusun
oleh
Galileo tentang
hukum
benda
yang jatuh,
dan
teori
gerak
yang telah
disusun
oleh
Newton.
“Menurut sejarah, fisika adalah bidang ilmu yang tertua, karena dimulai dengan pengamatan-pengamatan
dari
gerakan
benda-benda
langit,
bagaimana
lintasannya,
periodenya,
usianya,
dan
lain-lain. Bidang ilmu ini telah dimulai berabad-abad yang lalu, dan berkembang pada zaman Galileo dan Newton. Galileo merumuskan
hukum-hukum
mengenai
benda
yang jatuh,
sedangkan
Newton mempelajari
gerak
pada
umumnya,
termasuk
gerak
planet-planet pada
sistem
tata
surya.”
(Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan,
Matematika, hlm.
ii.)
Begitu
juga,
Ilmu
Kimia tidak
diajarkan
asal
katanya
sebagaimana
ketika
Fisika
dibahas.
Padahal
jelas
istilah
“Kimia” adalah
bahasa
Islam. Tokoh
sekaliber
Jabir ibn
Hayyan
yang telah
diakui
sebagai
founding father
dari
Kimia Terapan,
Kimia yang tidak sekedar
sebagai
teori
tanpa
makna
dari
tokoh-tokoh
Yunani
seperti
Democritus dan Aristoteles,
tidak
sedikit
pun mendapatkan
tempat
pembahasan.
(Khamidinal
dan
Tri Wahyuningsih,
Kimia SMA/MA Kelas
X, Jakarta:
Pusat
Perbukuan
Departemen
Pendidikan
Nasional,
2009).
Sebagaimana
materi-materi
ajar sains
lainnya,
kalaupun
dimunculkan tokoh-tokoh
sains
sebagai
pelengkap
materi,
tokoh-tokoh
yang dihadirkan
terbatas
terbatas
pada
tokoh-tokoh
Barat mulai
abad
ke-18 Masehi
saja.
Ketidakjujuran
pandangan
hidup
Barat atas
sumbangan
peradaban
Islam yang begitu besar
dalam
sejarah
perkembangan
sains
Barat, diakui
oleh
John M. Hobson: “Most of us naturally assume that
the East and West are, and always have been, separate and different entities.
We also generally believe that it is the ‘autonomous’ or ‘pristine’ West that
has alone pioneered the creation of the modern world; at least that is what
many of us are taught at school, if not at university.” (John
M. Hobson, The Eastern Origins of Western Civilisation,
UK: Cambridge, 2004).
Padahal,
sebagaimana
Ruth Benedict, “Sejarah tidak
dapat
ditulis
seakan-akan
hanya
milik
sekelompok
orang
sendiri.
Peradaban
telah
terbangun
secara
bertahap.
Eropa
terlalu
yakin
bahwa
semua
yang terpenting
di
dunia
berawal
dan
berakhir
dari
diri
mereka.”
(Ibid).
Prof.
Syed
Muhammad Naquib
al-Attas
mengatakan
bahwa
sains
hari
ini
perlu
dievaluasi
karena
telah
menjadikan
filsafat
modern sebagai
alat
interpretasi.
Selain
sebagai
penafsir
sains,
filsafat
modern juga
menyusun
sains
alam
dan
sosial
ke
dalam
suatu
pandangan
dunia.
Penafsiran
model inilah
yang pada
gilirannya
menentukan
arah
yang akan
ditempuh
sains
dalam
mengkaji
alam.
(Muhammad Naquib al-Attas,
Islam dan Filsafat Sains, Bandung:Mizan,
1995, hlm.
25).
Untuk
mengisi
kesenjangan
antara
realitas
perkembangan
sejarah
sains
dengan
pengajaran
sains
itu
sendiri
sangat
dibutuhkan
perubahan
terhadap
materi
ajar sains
sehingga
memenuhi
tujuan
besar
Pendidikan
Nasional,
termasuk
peningkatan
keimanan
dan
ketaqwaan
kepada
Tuhan
Yang Maha
Esa.
Dalam
hal
ini,
dunia
bersepakat
bahwa George
Sarton
(1884-1956) adalah sosok
yang tepat
untuk
dijadikan
referensi
utama
dalam
pengembangan
pengajaran
sains
disebabkan
keseriusannya
selama
hidup
untuk
memasukkan
sejarah
sains
sebagai
sebuah
disiplin
ilmu.
Bahkan
lebih
jauh
lagi,
dia
mendorong
agar pengajaran
sejarah
sains
menjadi
aktivitas
ilmiah
yang melahirkan
ikatan
kuat
seluruh
umat
manusia
dan
penghormatan
manusia
terhadap
sejarah
setiap
peradaban
untuk
kehidupan
manusia
yang lebih
baik.
Salah
satu
murid
Sarton
di
Harvard University yang menjadi Profesor
di
Fakultas
Sejarah
Sains
di
Universitas
Ankara Turki,
Aydin
Sayili
(1913-1993), mengatakan, bahwa
cita-cita
besar
George Sarton
adalah
melahirkan
kesatuan
cara
pandang
manusia,
kesatuan
sains
atau
‘kesatuan
pengetahuan’.
George Sarton
mengajarkan
perbedaan
mendasar
antara
sejarah
dari
sebuah
sains
dengan
sejarah
sains
itu
sendiri. Lebih jauh lagi, George Sarton juga menegaskan pentingnya pelatihan ilmiah kepada para sarjana di Barat untuk tema-tema penting berikut: paleografi, filsafat skolastik, sejarah politik, sejarah eklesiastik, dan pelatihan dasar tentang salah satu cabang ilmu alam. (James B. Conant, “George Sarton and Harvard University”, Isis, Vol. 48, 1957).*
Keseriusan George Sarton dalam mengembangkan disiplin ilmu Sejarah Sains menjadikan namanya diabadikan seperti di perpustakaan Burndy, salah satu perpustakaan terbesar dalam sejarah sains dan teknologi, berlokasi di Norwalk, Connecticut. Dorothy
Stimson (1890-1988) menjelaskan bahwa seluruh upaya keras seorang George Sarton kini dinikmati oleh banyak kalangan. George Sarton menjadi tokoh kunci dalam disiplin ilmu sejarah sains. Kapasitasnya sangat besar di dalam mengembangkan ide-idenya secara sungguh-sungguh. Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) menunjukkan penghormatannya yang mendalam terhadap George Sarton yang melahirkan karya monumental dari hasil penelitiannya yang mendalam. Demikian pula dengan Sami Khalaf Hamarneh (1925-2010) yang sangat memuji dua karya monumental yang menjadi warisan hidupnya dalam bidang sejarah sains.
Maka hingga hari ini, George Sarton menjadi sosok yang diakui sebagai Bapak Sejarah Sains, bahkan berhasil mengembangkan sejarah sains sebagai sebuah disiplin ilmu di Barat di paruh pertama abad kedua puluh, dengan penuh keseriusan, kesungguhan, meskipun sangat sedikit pihak yang mendukungnya. Eugene Garfield (lahir 1925 M) menulis esai khusus berjudul George Sarton: The Father of the History of
Science, untuk menggambarkan biografi George Sarton sebagai sosok utama terbentuknya sejarah
sains
sebagai
sebuah
disiplin
keilmuan.
Dalam
pengajaran
sejarah
sains,
George Sarton
mengingatkan
agar dapat
berpegang
teguh
pada
prinsip-prinsip
asli
sejarah
sains.
Prinsip-prinsip
dasar
pengajaran
sejarah
sains
dapat
disusun
sebagai
berikut:
1.Tidak
membatasi
hanya
mempelajari
pada
salah
satu
cabang
sains,
karena
semua
cabang
sains
tumbuh
bersamaan
dan
dalam
banyak
hal
saling
berhubungan
2.Tidak
memisahkan
satu
cabang
sains
dengan
cabang
sains
lainnya
3.Transmisi sains sama pentingnya
dengan penemuan sains
4.Ex
oriente
lux,
ex occidente
lex,
dari
Timur
muncul
cahaya,
dari
Barat muncul
hukum,
lebih
dapat
diterima
daripada
Oh East is East and West is West and
never the twain shall meet
5.Sains asli dan sains terapan tumbuh
secara bersamaan dalam banyak hal
6.Greek
Miracle
sejatinya
tidaklah
terlalu
mengagumkan
karena
apa
yang dicapai
oleh
Yunani
tidak
terjadi
secara
spontan,
akan
tetapi
buah
dari
evolusi
panjang
dari
sekian
pencapaian
yang mengesankan
dari
Mesopotamia di Mesir
dan
dunia
Aegean.
7.Peradaban
Yunani
pada
faktanya
berakhir
pada
kegagalan,
bukan
karena
kurangnya
kecerdasan
tapi
karena
kurangnya
karakter
moralitas
8.Peradaban
Helenistik
yang merupakan
kombinasi
peradaban
Yunani
dan
Romawi
pada
akhirnya
mengalami
ujian
besar
akibat
konflik
intelektual
terbesar
antara
tokoh
Yunani
dan
tokoh
Yahudi
dan
Kristen.
9.Pencapaian
terbesar
di
masa kuno
adalah
karena
kecerdasan
dari
Yunani,
sementara
pencapaian
terbesar
di
Abad Pertengahan
adalah
karena
kecerdasan
dari
Muslim, maka
Abad Pertengahan
memang
abad
kegelapan
dan
penuh
peperangan
bagi
Barat, sementara
abad
kegemilangan
dan
penuh
cahaya
pengetahuan
bagi
Muslim di
Timur.
10.
Pencapaian
Arab jauh
di
atas
pencapaian
Yunani.
11.Bahasa
Arab menjadi
bahasa
sains
utama
yang bersifat
progresif
khususnya
pada
rentang
abad
ke-8 hingga
abad
ke-11 M.
12.Peradaban
Islam adalah
peradaban
yang sangat
toleran
dan
sangat
melindungi
kaum
yang tidak
beriman
dalam
peradaban
Islam, maka
sains
dan
agama tidak
bisa
dipisahkan,
keduanya
harus
dipahami
dengan
baik.
13.Kecerdasan
Yunani
dan
kecerdasan
Arab adalah
dua
hal
yang tidak
bisa
dibedakan,
terlebih
ketika
peradaban
Islam tegak
hanya
dalam
kurun
waktu
dua
abad
saja
Pemikiran
George Sarton
menegaskan
bahwa
tujuan
besar
pengajaran
sejarah
sains
adalah
memahami
perkembangan
atau
pertumbuhan
sains
sejak
masa
lahirnya.
Maka
pengajaran
sejarah
sains
diperlukan
untuk
sembilan
tujuan
berikut
ini,
1.Menyampaikan
fakta-fakta
sains
yang lebih
mudah
dimengerti,
memaknainya
lebih
mendalam,
dan
menguasai
sebuah
karya
sains
secara
lebih
sempurna
2.Memahami
bahwa
hadirnya
sebuah
cabang
sains
dan
temuan
sains
adalah
karena
telah
didahului
cabang
sains
dan
temuan
sains
lain
3.Mencegah
keterbatasan
berpikir
murid
bahwa
evolusi
sains
baru
terjadi
setelah
abad
ke-17, atau bahwa
penemuan
paling berharga
di
bidang
sains
hanya
pada
rentang
abad
ke-19 dan
ke-20 saja.
4.bahwa penemuan
paling berharga
di
bidang
sains
hanya
pada
rentang
abad
ke-19 dan
ke-20 saja.
5.Memotivasi murid
untuk
melanjutkan
penemuan
sains
yang belum
selesai
dilakukan
pendahulunya
6.Menganalisa perkembangan
peradaban
dan
unsur-unsur
pendukungnya
seperti
perkembangan
pemikiran
dan
pandangan
hidup
manusia,
dan
sejarah
umat
manusia
secara
umum
7.Melahirkan sikap
menghargai
kemajuan
setiap
peradaban,
dan
bahwa
peradaban
tidak
hanya
milik
Barat semata
8.Memberikan aspek
rekreatif
kepada
murid
9.Mendorong kolaborasi
antara
tokoh
agama, sejarawan
dan
saintis,
dan
penggabungan
seluruh
semangatnya
dalam
pribadi
murid
agar tidak
berpikir
dikotomi.
Pengajaran
sejarah
sains
sangat
ditentukan
oleh
kualitas
dan
kompetensi
tenaga
pengajar.
Kriteria
pengajar
sains
yang dapat
diaplikasikan
adalah:
1) Memiliki
pengetahuan
yang mendalam
dan
pengalaman
yang cukup
lama, termasuk
pengalaman
di
laboratorium
untuk
sebuah
sains;
2) Memiliki
pengetahuan
yang lebih
superfisial
dalam
beragam
cabang
sains;
3) Mengetahui
sains
secara
umum
dan
sangat
memahami
metode
sejarah;
Memiliki
semangat
kesejarahan;
4) Mengetahui
filsafat,
khususnya
filsafat
sains;
Memiliki
semangat
filsafat;
5) Mengetahui
banyak
bahasa
di
dunia,
termasuk
Latin, dan
jika
memungkinkan
Yunani
dan
Arab. (George Sarton, A Guide to the History of Science, USA:
The Chronica
Botanica Company,
1952).
Evolusi
sains
perlu
disusun
secara
benar
dan
para
sejarawan
harus
mempertimbangkan
beberapa
hal
utama.
Dalam
hal
ini,
George Sarton
menawarkan
untuk
membahas
beberapa
subyek
pengajaran
yang menurutnya
paling menarik
bagi
sejarawan
sains:
(1) Sejarah
umum
atau
sejarah
peradaban;
(2) Sejarah
Teknologi;
(3) Sejarah
Agama; dan
(4) Sejarah
Seni
Rupa,
Seni
dan
Kerajinan.
(George Sarton,
The Life of Sience,
New
York: Henry Schuman,1948).
“Jika
pemikiran
George Sarton
ini
dapat
diterapkan,
sejatinya
ini
akan
sangat
mendukung
semakin
cepatnya
proses
Islamisasi
Sains
sebagaimana
telah
dinantikan
banyak
pihak,”
kata
Dr. Wido
Supraha.(*)