Prof. Dr. M. Amin Abdullah
Mantan Rektor UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
Dalam studi agama (Religius Studies),
terutama dalam psikologi agama, orang tidak dapat meninggalkan bahasan
‘religius experience’ (pengalaman beragama) yang harus di bedakan dari dogma
atau credo dan worship (ibadah). Dalam islam kita mempunyai konsep iman, islam
dan ihsan yang bisa dibedakan dalam uraian rincian pembahasannya, tapi
merupakan satu kesatuan yang dapat di pisahkan dalam kehidupan orang beragama.
Perawi hadits, Bukhari
meriwayatkan secara rinci apa yang di sebut iman, islam dan ihsan sebagai
berikut: Ada seseorang datang kepada Rasulullah dan bertanya tentang islam.
Nabi menjawab:
“Islam adalah kesaksian
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menidirikan
shalat, mengeluarkan Zakat, puasa Ramadhan ,Melakukan ibadah Haji
jika mampu”.
Kemudian orang itu
bertanya lagi tentang apa itu iman. Rasul menjawab “Percaya kepada Allah, Hari akhir dan
ketentuan-ketentuan baik dan buruk”. Setelah itu, orang tersebut bertanya pula
apa itu ‘ihsan’. Beliau menjawab: “Hendaklah saudara menyembah Allah seperti
kalau saudara melihat-Nya, dan jika saudara tidak dapat melihatnya, yakinlah
bahwa Allah selalu melihat saudara”.
Pada
awal munculnya Islam di jazirah Arab, Agama islam yang di dakwahkan oleh Nabi
Muhammad Saw, tampak begitu sederhana. Formulasi ajarannya begitu mudah di
fahami lantaran Nabi Muhammad sendiri
masih menjadi sentral fiqure ‘uswatun hasanah’ (panutan utama) bagi manusia
muslim, yang ajaran dan contoh tauladannya dapat di berikan secara langsung
tanpa perantara.
Pada suatu
ketika, ada orang yang mau memeluk agama islam. Dia menyatakan kepada Nabi
bahwa dia mempunyai kebiasaan buruk yang sulit di tinggalkannya, yaitu mencuri.
Dia mengaku
betapa sulit menghindari kebiasaan itu, padahal dia sendiri ingin memeluk agama
islam. Untuk memecahkan dilema ini, nabi Muhammad hanya minta supaya orang itu
berjanji untuk tidak bohong (an laa takdzib). Tampaknya, janji untuk tidak
berbohong itu dipegang teguh dan berpengaruh
besar dalam kehidupan orang tersebut.
Begitu ia
mau mencuri, dia teringat akan janji yang ia buat dengan Rasul. Kalau dia
mencuri dan kemudian ditanya oleh Rasul,
apa yang harus ia jawab. Kalau dijawab ‘tidak’
berarti ia berbohon. Akhirnya kontrak an laa takzib menjadi dasar moral
yang kuat sekali untuk mengantarkan
orang tersebut untuk berbuat baik, sehingga memudahkan masuknya islam.
Ketika Nabi
hendak mengerjakan shalat, beliau cuma bilang ringkas: Sallu kama raaitumunii
usalli (shalatlah kamu seperti kamu sekalian melihat aku shalat) Begitu juga
dalam hal zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Dengan begitu, maka ketiga
fondasi bangunan islam, yaitu iman, islam, dan ihsan tidak terpisah. Ketiga
komponen itu tercampur menjadi satu dan mengejewantah secara utuh dalam
tindakan mu’amalah ma’a allah (ibadah kepada Allah) dan mu’amalah ma’an an-nass
(hubungan pergaulan dengan manusia).
Dalam
perkembangan sejarah seninggal Rasullah, terjadi perkembangan baru. Perluasaan
wilayah territorial islam merupak suatu proses yang tidak dapat
di elakkan. Proses
akulturasi, asimilasi serta percampuran dengan budaya lain merupakan suatu
proses yang tidak dapat di hindari. Ajaran islam yang rahmatan lilalamin perlu
berjalan terus dan keluar dari wilayah Saudi Arabia dengan resiko yang tidak
dapat, tidak pasti bersentuhan dengan kebudayaan lain.
Pada saat umat islam
memasuki Iraq, Mesir dan Persia terjadilah prsoses pertemuan budaya yang sangat
intensif sekali. Ketiga kota itu adalah merupakan pusat-pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan yang telah mekar sebelum datangnya Nabi Muhammad. Umat islam
Abad 2 dan 3 Hijriah sangat aktif dan responsif dalam mewarnai proses asimilasi
antar kedua bahkan beragam kebudayaan yang ada.
Formula sederhana yang
telah dicontohkan oleh nabi terurai
diatas dengan perkembangan sosial budaya yang terjadi pada masa
khulafaurrasyidin, kerajaan Abbasiayah – secara otomatis mulai berkembang pula.
Perkembangan ini tidak bisa dielakkan sama sekali, karena tuntutan perubahan
zaman, perbedaan geografus (aliran Hijaz, Iraq, dan Persia) serta latar
belakang sejarah sosial-budaya umat yang baru masuk islam.
Secara garis besar,
muncullah ilmu-ilmu keislaman yang berpengaruh dari saat itu sampai sekarang.
Pada dataran pertama, muncullah ilmu tafsir, ilmu hadis, dan ilmu bahasa.
Sedang pada dataran kedua, berkembang ilmu kalam (theologi) dengan tokoh-tokoh
pendukungnya seperti Wasil ibn ‘ata;, Abul hasan al Asy’ari, al Maturudiyah.
Sifat duapuluh, jabariyah (predistenation) vs. Qodariyah (Free will), sifat
wajib, jaiz dan mukmin al-wujud di bahas secara jelimet (detail). Apalagi
setelah umat islam bertemu dengan ajaran-ajaran Kristen, Yahudi, Manikea, dan
Yunani, maka mereka pun bersusah
payah merumuskan kembali ajaran-ajaran yang semula
sederhana tadi untuk mempertahankan diri dan menandingi ajaran-ajaran dari
luar.
Dalam tataran kedua,
muncul pula apa yang di sebut ilmu fiqh dengan tokoh-tokoh seperti al-syafi’i,
hambali, maliki, dan hanafi. Rukun islam yang begitu sederhana menjadi sedikit
rumit. Berpuluh-puluh buku, di tulis para ulama dalam ilmu fiqh ini.
Formulasi sederhana
‘sallu kama raitumuni usalli’ terpecah-pecah menjadi khazanah intelektual
muslim yang amat sangat kaya. Orang mulai mengklasifikasi persoalan rukun islam
menjadi bab wudhu, bab tayammum, bab mandi, bab salat, bab haji, zakat, dan
lain sebagainya, yang kesemuanya didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits
Nabi.
Sebagai contoh, orang
membahas ayat wudhu’ : wa imsahuu bi ru’usikum. Dipertanyakan apa arti ba’ di situ. Apakah kita perlu
membasuh semua rambut kepala ataukah hanya sebagian saja. Timbul masalah Khilafiyyah
(persilisihan
pendapat) yang tak kunjung terselesaikan dan memang tidak pernah terselesaikan.
Di pesantren-pesantren
di seantero dunia, dibutuhkan waktu yang
cukup lama untuk mangaji satu kitab fiqh
aliran (mazhab) tertentu, dan belum tentu menjamin dapat membuat cakrawala
santri untuk tahu pendapat mazhab orang lain. Orang indonesia yang bermazhab
Syafi’i akan heran-heran melihat praktek
ibadah orang lain di masjid al-haram
sewaktu melakukan ibadah haji. Belum lagi maslah-masalah yang lain, termasuk di
antaranya persoalan yang menyentuh kepentingan orang banyak seperti bungan
bank. tanpa disadari, lantaran pembahasan dan cara berfikir kita terlalu fokus pada persoalan
penyesusaian amal perbuatan kita dengan aturan-aturan hukum figh (dalam mazhab tertentu, maka penghayatan
agama disini terasa sangat ‘formal’ sekal. Keberagaman yang pada
dasarnya adalah multi-dimensional (banyak dimensi) di reduksi menjadi terbatas
pada aspek ‘’aturan-aturan lahiriyah’ yang berdifat formal dan legal.
Jika ilmu qalam
(theology) dan ilmu fiqh (ulama pendukung dua yang akhir ini lazim disebut juga
ulama zahir)berkembang sedemikian rupa, maka tidak ketinggalan pula ilmu
tasawwuf (ulama batin). Konsepsi dasar ‘ihsan’ dalam artian: an ta’buda allaha
ka annaka tarahu, fa in lam takun tarahu, fa innahu yaraka (sembahlah tuhan
seperti saudara sendiri melihat-Nya, dan jika saudara sendiri melihatnya maka
yakinlah bahwa tuhan selalu melihat saudara) tak terkecuali juga ikut-ikut
berkembang pula yang patut di pelajari lebih lanjut dan
teliti dalam sejarah pemikiran islam adalah mengapa justru aspek batiniyah
inilah yang lebih menarik golongan terbesar umat islam. Menyebarkan gerakan
tarekat, baik yang ortodok maupun yang heteredok adalah bukti otentik bahwa
gerakan ini adalah masih menarik banyak
banyak orang. Para pencetus dan penyokong aspek ‘Batiniyyah’ dalam Islam tidak
puas dengan bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat intelektualitas (teolog
dan failusuf) dan juga pemahaman
keagamaan yang bersifat formalsitik-legalistik (fuqaha).
Sejak awal mula, ahli-ahli Fiqh sendiri menyadari
sepenenuhnya terlewatkannya aspek ‘batiniyyah’ daripada agama. Sedapat-dapatnya
mereka telah berusaha mempertimbangkan dimensi batiniyyah ini, tapi lantaran
bidang cakupan mereka memang tidak menyentuh persoalan batin ini secara
mendalan maka bagaimana pun juga akhirnya agak terkesampingkan, kalau tidak
malah terlewatkan, setidaknya bukan lagi menjadi sudut bidik mereka.
Perkembangan
pemikiran filsafat dalam islam ikut memberi andil yang cukup besar untuk
hidup suburnya pemikiran tasawwuf dalam dunia muslim. Sebagai pendukung
munculnya disiplin yang sendiri-sendiri, muncullah tokoh-tokoh sufi seperti
Harits al-Muhasibi (243 H/857), Dzun nun Al-Misry (245 H/859 M), Abu Yazid
al-Bistami (260 H/874). Term-trem al-quran yang kaya dengan makna batin
(Tasawwuf) pun dikumpulkan oleh mereka. Taubah (taubat), Syukur (shukur), Sabar
(sabar), tawakkal (penyerahan diri kepada Allah), ridla, ikhlas (ikhlas) wara’
(kesalehan pribadi), Qonaah (rasa puas), khauf
(cemas), Raja’ (harapan), Hubb (cinta) dan lain-lainnya.
Ayat-ayat al-Quran yang mengandung dimensi
‘batin’ dari kehidupan beragama memang tidak bisa dengan begitu saja dinegasikan dari kesatuan yang
utuh dari ajaran al-Qur’an.
Para ulama batin akhirnya
dengan menyuguhkan konsep religio-moral yang disebut mukahat (stasion-stasion) dan juga teori ahwal (keadaan-keadaan)
yang bersifat psikologi-gnostik yang harus dilewati oleh para sufi. Tampak
disini pengaruh cara berpikir filsafat di dalam mengklasifikasi dan
mensistematisasai ajaran-ajaran al-Qur’an yang berkaitan dengan dimensi
batiniyyah. Iman al-ghazali juga ikut berjasa besar dalam menyusun konsep
klasifikasi tersebut dengan landasan filosofis yang sangat kuat. Bahkan menurut
Mohammed Ahmed Sherif, jelas sekali pengaruh Ibnu Sinadan Aristoteles pada tata
cara Ghazali mensistematisasi ajaran-ajaran batin yang bertebaran dalam
al-Qur’an.
Sudah merupakan hukum
sejarah, jika satu cabang ilmu telah berkembang menjadi satu disiplin
tersendiri dengan tokoh-tokoh pendukung yang solid (arkanul Iman : rukun iman menjadi bidang cakupan bidang teologi/kalam dan
filsafat; arkanul Islam (rukun Islam) menjadi bidang garap Fuqaha dengan lembaga-lembaga seperti mufti, qodli, peradilaan agama,
waqaf dan sebagainya; dan ihsan menjadi bidang garap Tasawwuf yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi
kelompok-kelompok ‘tarekat’, maka terjadilah pergumulan dibawah sadar para
pengasuhnya untuk memperebutkan pengaruh di antara para pendukung ilmu-ilmu
tersebut, lebih-lebih lagi jika unsur dari luar telah ikut campur.
Dalam hubungan ini, unsur
tasawwuflah yang paling subur untuk di masuki pengaruh dari
luar, baik dari greko-gnestik, doktrin Kristen, Manikea maupun India. Konsepsi
‘ihsan’ yang begitu sederhana berubah
menjadi rumit. Pengaruh Syi’ah Iman 12 juga mulai ikut masuk. Mereka
tidak puas lantaran kegagalan dalam panggung politik, kemudian membentuk konsep
al-mahdi (Iman
yang ditunggu-tunggu). Kebetulan para penguasa yang sunni didukung oleh para
ulama yang lebih menitik beratkan pada aspek hukum formal dari keberagamaan
manusia.
Meskipun aliran sunni tidak memasukkan ajaran al-mahdi
dalam korpus
ajaran resminya, tetapi pengikut sunni di lapisan bawah (agama populer rakyat)
diam-diam mengakui adanya iman al-Mahdi, sebagai pemimpin yang di tunggu-tunggu
untuk melepaskan mereka dari himpitan sosial-ekonomi yang tiada bertepi.
Pemikiran-pemikiran puncak kaum sufi (mistik)
terfurmulasikan dalam doktrin hulul,ittihad
dan wihdatul wujud, yang oleh para ulama
dianggap sudah terlalu jauh dari pagar batas Islam. Para fuqaha,
mufti dan Qodli tidak bisa mentolerir
ajaran tarekat yang dianggapnya sudah terlalu menyeberang dari rel Islam.
Konsep-konsep itu dianggap terlalu asing, meskipun bagi para penciptanya
dianggap wajar saja. Apalagi kensep-konsep itu di campur dengan praktek-praktek
tari-tarian, nyayian dan lain sebagainnya. Dimensi batin ajaran Islam kemudian
terbagi menjadi tarekat-tarekat. Orang mulai tidak menyukai gerakan tarekat
yang ekstrim ini dikemudian hari. Contoh kasus pemasungan tokoh sufi besar Mansur al-hajjaj (857-922)
dengan dokrin hululnya (tuhan dapat beriankarnasi pada orang mistik dan si mistik
itu sendiri sama dengan Tuhan) serta pembunuhan tokoh sufi persia yang lain, Shabab al-Din Suhrawardi (meninggal
1191) pendiri aliran Iluminationism merupakan contoh konkrit.
Meskipun begitu , orang tetap akan senang juga
mengikuti ajaran-ajaran sufi. Bahkan konon, justru lewat aliran-aliran sufi
tarekat inilah Islam tersebar dan masuk ke India, Pakistan, Malaysia, Indonesia
dan juga ke Afrika. Dimensi tasawwuf dalam Islam agaknya tidak terus berhenti
begitu saja dengan adanya hukum pancung tersebut. Gerakan tarekat harus hidup
subur sehingga sekarang lewat aliran-aliran Naqsabandiyah, Qadiriyah,
Rifa’iyyah dan lain-lain.
Yang menarik perhatian para pengamat adalah
hubungan antara golongan Fuqaha yang
terlembagakan dalam institusi ulama, Qodli atau Mufti dengan golongan sufi yang
menyembul-nyembul dalam bentuk ‘tarekat-tarekat’. Mereka merasa saling tidak sreg melihat perkembangan
masing-masing pihak. Dalam kasus al-Hajjaj, golongan yang menitik beratkan
kepada aspek hukum formal ajaran Islam agaknya lebih agresif dengan
mengatasnamakan ‘syari’at’. Dalam kenyataan sejarah, gerakan sufi atau tarekat
menjadi populer dan menarik perhatian dan minat orang awam. Gerakan
sufi/tarekat ternyata lebih dapat adaptive dan akomodatif dengan kebudayaan setempat. Bahkan diberbagai
tempat tidak jarang mereka menjadi pemimpin rakyat dalam mengusir penjajahan.
Meskipun perlu juga dicatat disini bahwa
hampir-hampir tidak ada tokoh sufi dan kelompok tarekat yang menjadi tokoh
Ilmuwna (science),
janganlah sampai ke bidang iptek. Pertarungan sengit antara pemahaman fiqh dan
pemahaman tasawwuf kemudian didamaikan
oleh al-ghazali (1058-1111). Dan
itulah jasa terbesar Al-Ghazali, sehingga
orang-orang pendukung fiqih dapat menerima tasawwuf dan para pendukung tarekat
juga dapat menerima tasawwuf dan para pendukung tarekat juga dapat menerima
ketentuan fiqh.
Tidak mudah rupanya mengembalikan tasawwuf ke
sumber aslinya. Hampir di seluruh wilayah kerajaan ustmani Turki, gerakan
tarekat dengan chiri khas “keta’atan mutlak dan taqliq kepada sang guru (syekh
mursyid) tanpa reserve” mendominasikan seluruh kehidupan Muslim abad 15 sampai
dengan 18/19. Kerajaan utsmani turki di kuasai oleh sultan-sultan yang
mempunyai kekuasaan absolut dengan mengambil ulama sebagai penasihat kerajaan
dan dilapisi dengan pengikut gerakan agama populer rakyat dibawah bimbingan
guru-guru tarekat.(*)
Sumber : Buletin Al-Mufiid (Edisi Lengkap)
0 komentar:
Posting Komentar