Rabu, 04 November 2015

TASSAWWUF: DIMENSI BATIN AGAMA ISLAM

Prof. Dr. M. Amin Abdullah
Mantan  Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam studi agama (Religius Studies), terutama dalam psikologi agama, orang tidak dapat meninggalkan bahasan ‘religius experience’ (pengalaman beragama) yang harus di bedakan dari dogma atau credo dan worship (ibadah). Dalam islam kita mempunyai konsep iman, islam dan ihsan yang bisa dibedakan dalam uraian rincian pembahasannya, tapi merupakan satu kesatuan yang dapat di pisahkan dalam kehidupan orang beragama.

Perawi hadits, Bukhari meriwayatkan secara rinci apa yang di sebut iman, islam dan ihsan sebagai berikut: Ada seseorang datang kepada Rasulullah dan bertanya tentang islam. Nabi menjawab:
“Islam adalah kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menidirikan shalat, mengeluarkan Zakat, puasa Ramadhan ,Melakukan ibadah Haji jika mampu”.

Kemudian orang itu bertanya lagi tentang apa itu iman. Rasul menjawab  “Percaya kepada Allah, Hari akhir dan ketentuan-ketentuan baik dan buruk”. Setelah itu, orang tersebut bertanya pula apa itu ‘ihsan’. Beliau menjawab: “Hendaklah saudara menyembah Allah seperti kalau saudara melihat-Nya, dan jika saudara tidak dapat melihatnya, yakinlah bahwa Allah selalu melihat saudara”.
Pada awal munculnya Islam di jazirah Arab, Agama islam yang di dakwahkan oleh Nabi Muhammad Saw, tampak begitu sederhana. Formulasi ajarannya begitu mudah di fahami  lantaran Nabi Muhammad sendiri masih menjadi sentral fiqure ‘uswatun hasanah’ (panutan utama) bagi manusia muslim, yang ajaran dan contoh tauladannya dapat di berikan secara langsung tanpa perantara.    

Pada suatu ketika, ada orang yang mau memeluk agama islam. Dia menyatakan kepada Nabi bahwa dia mempunyai kebiasaan buruk yang sulit di tinggalkannya, yaitu mencuri.
Dia mengaku betapa sulit menghindari kebiasaan itu, padahal dia sendiri ingin memeluk agama islam. Untuk memecahkan dilema ini, nabi Muhammad hanya minta supaya orang itu berjanji untuk tidak bohong (an laa takdzib). Tampaknya, janji untuk tidak berbohong itu dipegang teguh dan berpengaruh  besar dalam kehidupan orang tersebut.
Begitu ia mau mencuri, dia teringat akan janji yang ia buat dengan Rasul. Kalau dia mencuri  dan kemudian ditanya oleh Rasul, apa yang harus ia jawab. Kalau dijawab ‘tidak’  berarti ia berbohon. Akhirnya kontrak an laa takzib menjadi dasar moral yang kuat  sekali untuk mengantarkan orang tersebut untuk berbuat baik, sehingga memudahkan masuknya islam.

Ketika Nabi hendak mengerjakan shalat, beliau cuma bilang ringkas: Sallu kama raaitumunii usalli (shalatlah kamu seperti kamu sekalian melihat aku shalat) Begitu juga dalam hal zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Dengan begitu, maka ketiga fondasi bangunan islam, yaitu iman, islam, dan ihsan tidak terpisah. Ketiga komponen itu tercampur menjadi satu dan mengejewantah secara utuh dalam tindakan mu’amalah ma’a allah (ibadah kepada Allah) dan mu’amalah ma’an an-nass (hubungan pergaulan dengan manusia).
Dalam perkembangan sejarah seninggal Rasullah, terjadi perkembangan baru. Perluasaan wilayah territorial islam merupak suatu proses yang tidak dapat
di elakkan. Proses akulturasi, asimilasi serta percampuran dengan budaya lain merupakan suatu proses yang tidak dapat di hindari. Ajaran islam yang rahmatan lilalamin perlu berjalan terus dan keluar dari wilayah Saudi Arabia dengan resiko yang tidak dapat, tidak pasti bersentuhan dengan kebudayaan lain.
Pada saat umat islam memasuki Iraq, Mesir dan Persia terjadilah prsoses pertemuan budaya yang sangat intensif sekali. Ketiga kota itu adalah merupakan pusat-pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang telah mekar sebelum datangnya Nabi Muhammad. Umat islam Abad 2 dan 3 Hijriah sangat aktif dan responsif dalam mewarnai proses asimilasi antar kedua bahkan beragam kebudayaan yang ada.
Formula sederhana yang telah dicontohkan  oleh nabi terurai diatas dengan perkembangan sosial budaya yang terjadi pada masa khulafaurrasyidin, kerajaan Abbasiayah – secara otomatis mulai berkembang pula. Perkembangan ini tidak bisa dielakkan sama sekali, karena tuntutan perubahan zaman, perbedaan geografus (aliran Hijaz, Iraq, dan Persia) serta latar belakang sejarah sosial-budaya umat yang baru masuk islam.

Secara garis besar, muncullah ilmu-ilmu keislaman yang berpengaruh dari saat itu sampai sekarang. Pada dataran pertama, muncullah ilmu tafsir, ilmu hadis, dan ilmu bahasa. Sedang pada dataran kedua, berkembang ilmu kalam (theologi) dengan tokoh-tokoh pendukungnya seperti Wasil ibn ‘ata;, Abul hasan al Asy’ari, al Maturudiyah. Sifat duapuluh, jabariyah (predistenation) vs. Qodariyah (Free will), sifat wajib, jaiz dan mukmin al-wujud di bahas secara jelimet (detail). Apalagi setelah umat islam bertemu dengan ajaran-ajaran Kristen, Yahudi, Manikea, dan Yunani, maka mereka pun bersusah 
payah  merumuskan kembali ajaran-ajaran yang semula sederhana tadi untuk mempertahankan diri dan menandingi ajaran-ajaran dari luar.
Dalam tataran kedua, muncul pula apa yang di sebut ilmu fiqh dengan tokoh-tokoh seperti al-syafi’i, hambali, maliki, dan hanafi. Rukun islam yang begitu sederhana menjadi sedikit rumit. Berpuluh-puluh buku, di tulis para ulama dalam ilmu fiqh ini.
Formulasi sederhana ‘sallu kama raitumuni usalli’ terpecah-pecah menjadi khazanah intelektual muslim yang amat sangat kaya. Orang mulai mengklasifikasi persoalan rukun islam menjadi bab wudhu, bab tayammum, bab mandi, bab salat, bab haji, zakat, dan lain sebagainya, yang kesemuanya didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Sebagai contoh, orang membahas ayat wudhu’ : wa imsahuu bi ru’usikum. Dipertanyakan apa arti ba’ di situ. Apakah kita perlu membasuh semua rambut kepala ataukah hanya sebagian saja. Timbul masalah Khilafiyyah (persilisihan pendapat) yang tak kunjung terselesaikan dan memang tidak pernah terselesaikan.

Di pesantren-pesantren di seantero dunia, dibutuhkan  waktu yang cukup lama untuk mangaji  satu kitab fiqh aliran (mazhab) tertentu, dan belum tentu menjamin dapat membuat cakrawala santri untuk tahu pendapat mazhab orang lain. Orang indonesia yang bermazhab Syafi’i  akan heran-heran melihat praktek ibadah orang lain di masjid  al-haram sewaktu melakukan ibadah haji. Belum lagi maslah-masalah yang lain, termasuk di antaranya persoalan yang menyentuh kepentingan orang banyak seperti bungan bank. tanpa disadari, lantaran pembahasan dan cara berfikir kita terlalu fokus pada persoalan penyesusaian amal perbuatan kita dengan aturan-aturan hukum figh  (dalam mazhab tertentu, maka penghayatan agama disini  terasa sangat  ‘formal’ sekal. Keberagaman yang pada dasarnya adalah multi-dimensional (banyak dimensi) di reduksi menjadi terbatas pada aspek ‘’aturan-aturan lahiriyah’ yang berdifat formal dan legal.

Jika ilmu qalam (theology) dan ilmu fiqh (ulama pendukung dua yang akhir ini lazim disebut juga ulama zahir)berkembang sedemikian rupa, maka tidak ketinggalan pula ilmu tasawwuf (ulama batin). Konsepsi dasar ‘ihsan’ dalam artian: an ta’buda allaha ka annaka tarahu, fa in lam takun tarahu, fa innahu yaraka (sembahlah tuhan seperti saudara sendiri melihat-Nya, dan jika saudara sendiri melihatnya maka yakinlah bahwa tuhan selalu melihat saudara) tak terkecuali juga ikut-ikut berkembang pula yang patut di pelajari lebih lanjut dan teliti dalam sejarah pemikiran islam adalah mengapa justru aspek batiniyah inilah yang lebih menarik golongan terbesar umat islam. Menyebarkan gerakan tarekat, baik yang ortodok maupun yang heteredok adalah bukti otentik bahwa gerakan  ini adalah masih menarik banyak banyak orang. Para pencetus dan penyokong aspek ‘Batiniyyah’ dalam Islam tidak puas dengan bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat intelektualitas (teolog dan failusuf) dan juga pemahaman  keagamaan yang bersifat formalsitik-legalistik (fuqaha).
  Sejak awal mula, ahli-ahli Fiqh sendiri menyadari sepenenuhnya terlewatkannya aspek ‘batiniyyah’ daripada agama. Sedapat-dapatnya mereka telah berusaha mempertimbangkan dimensi batiniyyah ini, tapi lantaran bidang cakupan mereka memang tidak menyentuh persoalan batin ini secara mendalan maka bagaimana pun juga akhirnya agak terkesampingkan, kalau tidak malah terlewatkan, setidaknya bukan lagi menjadi sudut bidik mereka.
  Perkembangan  pemikiran filsafat dalam islam ikut memberi andil yang cukup besar untuk hidup suburnya pemikiran tasawwuf dalam dunia muslim. Sebagai pendukung munculnya disiplin yang sendiri-sendiri, muncullah tokoh-tokoh sufi seperti Harits al-Muhasibi (243 H/857), Dzun nun Al-Misry (245 H/859 M), Abu Yazid al-Bistami (260 H/874). Term-trem al-quran yang kaya dengan makna batin (Tasawwuf) pun dikumpulkan oleh mereka. Taubah (taubat), Syukur (shukur), Sabar (sabar), tawakkal (penyerahan diri kepada Allah), ridla, ikhlas (ikhlas) wara’ (kesalehan pribadi), Qonaah (rasa puas), khauf  (cemas), Raja’ (harapan), Hubb (cinta) dan lain-lainnya. Ayat-ayat al-Quran yang mengandung dimensi  ‘batin’ dari kehidupan beragama memang tidak bisa dengan  begitu saja dinegasikan dari kesatuan yang utuh dari ajaran al-Qur’an.
  Para ulama batin akhirnya dengan menyuguhkan konsep religio-moral yang disebut mukahat (stasion-stasion) dan juga teori ahwal (keadaan-keadaan) yang bersifat psikologi-gnostik yang harus dilewati oleh para sufi. Tampak disini pengaruh cara berpikir filsafat di dalam mengklasifikasi dan mensistematisasai ajaran-ajaran al-Qur’an yang berkaitan dengan dimensi batiniyyah. Iman al-ghazali juga ikut berjasa besar dalam menyusun konsep klasifikasi tersebut dengan landasan filosofis yang sangat kuat. Bahkan menurut Mohammed Ahmed Sherif, jelas sekali pengaruh Ibnu Sinadan Aristoteles pada tata cara Ghazali mensistematisasi ajaran-ajaran batin yang bertebaran dalam al-Qur’an.
  Sudah merupakan hukum sejarah, jika satu cabang ilmu telah berkembang menjadi satu disiplin tersendiri dengan tokoh-tokoh pendukung yang solid (arkanul Iman : rukun iman menjadi bidang cakupan bidang teologi/kalam dan filsafat; arkanul Islam (rukun Islam) menjadi bidang garap Fuqaha dengan lembaga-lembaga seperti mufti, qodli, peradilaan agama, waqaf dan sebagainya; dan ihsan menjadi bidang garap Tasawwuf yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi kelompok-kelompok ‘tarekat’, maka terjadilah pergumulan dibawah sadar para pengasuhnya untuk memperebutkan pengaruh di antara para pendukung ilmu-ilmu tersebut, lebih-lebih lagi jika unsur dari luar telah ikut campur.
  Dalam hubungan ini, unsur tasawwuflah yang paling subur untuk di masuki pengaruh dari luar, baik dari greko-gnestik, doktrin Kristen, Manikea maupun India. Konsepsi ‘ihsan’ yang begitu sederhana berubah  menjadi rumit. Pengaruh Syi’ah Iman 12 juga mulai ikut masuk. Mereka tidak puas lantaran kegagalan dalam panggung politik, kemudian membentuk konsep al-mahdi (Iman yang ditunggu-tunggu). Kebetulan para penguasa yang sunni didukung oleh para ulama yang lebih menitik beratkan pada aspek hukum formal dari keberagamaan manusia.
  Meskipun aliran sunni tidak memasukkan ajaran al-mahdi dalam korpus ajaran resminya, tetapi pengikut sunni di lapisan bawah (agama populer rakyat) diam-diam mengakui adanya iman al-Mahdi, sebagai pemimpin yang di tunggu-tunggu untuk melepaskan mereka dari himpitan sosial-ekonomi yang tiada bertepi.
  Pemikiran-pemikiran puncak kaum sufi (mistik) terfurmulasikan dalam doktrin  hulul,ittihad dan  wihdatul wujud, yang oleh para ulama dianggap sudah terlalu jauh dari pagar batas Islam. Para fuqaha, mufti dan Qodli tidak bisa mentolerir ajaran tarekat yang dianggapnya sudah terlalu menyeberang dari rel Islam. Konsep-konsep itu dianggap terlalu asing, meskipun bagi para penciptanya dianggap wajar saja. Apalagi kensep-konsep itu di campur dengan praktek-praktek tari-tarian, nyayian dan lain sebagainnya. Dimensi batin ajaran Islam kemudian terbagi menjadi tarekat-tarekat. Orang mulai tidak menyukai gerakan tarekat yang ekstrim ini dikemudian hari. Contoh kasus pemasungan  tokoh sufi besar Mansur al-hajjaj (857-922) dengan dokrin hululnya (tuhan dapat beriankarnasi pada orang mistik dan si mistik itu sendiri sama dengan Tuhan) serta pembunuhan tokoh sufi  persia yang lain, Shabab al-Din Suhrawardi (meninggal 1191) pendiri aliran Iluminationism merupakan contoh konkrit.
  Meskipun begitu , orang tetap akan senang juga mengikuti ajaran-ajaran sufi. Bahkan konon, justru lewat aliran-aliran sufi tarekat inilah Islam tersebar dan masuk ke India, Pakistan, Malaysia, Indonesia dan juga ke Afrika. Dimensi tasawwuf dalam Islam agaknya tidak terus berhenti begitu saja dengan adanya hukum pancung tersebut. Gerakan tarekat harus hidup subur sehingga sekarang lewat aliran-aliran Naqsabandiyah, Qadiriyah, Rifa’iyyah dan lain-lain.
  Yang menarik perhatian para pengamat adalah hubungan antara golongan Fuqaha yang terlembagakan dalam institusi ulama, Qodli atau Mufti dengan golongan sufi yang menyembul-nyembul dalam bentuk ‘tarekat-tarekat’. Mereka merasa saling tidak sreg melihat perkembangan masing-masing pihak. Dalam kasus al-Hajjaj, golongan yang menitik beratkan kepada aspek hukum formal ajaran Islam agaknya lebih agresif dengan mengatasnamakan ‘syari’at’. Dalam kenyataan sejarah, gerakan sufi atau tarekat menjadi populer dan menarik perhatian dan minat orang awam. Gerakan sufi/tarekat ternyata lebih dapat adaptive dan akomodatif  dengan kebudayaan setempat. Bahkan diberbagai tempat tidak jarang mereka menjadi pemimpin rakyat dalam mengusir penjajahan.
  Meskipun perlu juga dicatat disini bahwa hampir-hampir tidak ada tokoh sufi dan kelompok tarekat yang menjadi tokoh Ilmuwna (science), janganlah sampai ke bidang iptek. Pertarungan sengit antara pemahaman fiqh dan pemahaman tasawwuf kemudian didamaikan  oleh al-ghazali  (1058-1111). Dan itulah jasa terbesar Al-Ghazali, sehingga orang-orang pendukung fiqih dapat menerima tasawwuf dan para pendukung tarekat juga dapat menerima tasawwuf dan para pendukung tarekat juga dapat menerima ketentuan fiqh.
  Tidak mudah rupanya mengembalikan tasawwuf ke sumber aslinya. Hampir di seluruh wilayah kerajaan ustmani Turki, gerakan tarekat dengan chiri khas “keta’atan mutlak dan taqliq kepada sang guru (syekh mursyid) tanpa reserve” mendominasikan seluruh kehidupan Muslim abad 15 sampai dengan 18/19. Kerajaan utsmani turki di kuasai oleh sultan-sultan yang mempunyai kekuasaan absolut dengan mengambil ulama sebagai penasihat kerajaan dan dilapisi dengan pengikut gerakan agama populer rakyat dibawah bimbingan guru-guru tarekat.(*)

Sumber : Buletin Al-Mufiid (Edisi Lengkap)
 
 
 

0 komentar:

Posting Komentar