Lafadz Ijab dan Qobul , Haruskah Dalam Keadaan Suci dan Cara Pemotongan Ayam, dan Telur dari Ayam Yang Mati
Pertanyaan:
1. Dalam ikrar ijab qabul dalam bahasa Indonesia ada tiga jawaban mempelai pria:
a. Saya terima nikahnya ... (dengan jawaban ini seolah-olah mempelai wanita menikahi mempelai pria)
b. Saya terima menikahi
c. Saya terima.
Dari ketiga jawaban ini mana yang paling benar?
2. Nikah itu suci. Karena nikah itu suci, apakah ada ketentuan pada waktu dinikahkan kedua mempelai dalam keadaan suci?
3. Di satu tempat pemotongan ayam cabut bulu, si penyembelih
menyembelih ayam dengan cara sebagai berikut: Tangan kiri penyembelih
memegang kedua sayap ayam jadi satu, dengan posisi ayam ditelentangkan
kaki di atas, tangan kanan penyembelih memegang pisau dan menyembelih
leher ayam hingga keluar darah. Ayam belum sempat mati langsung
dimasukkan ke dalam bak yang berisi air panas untuk proses cabut bulu.
Dengan cara demikian seolah-olah ayam mati tenggelam, bukan mati karena
disembelih. Karena banyaknya ayam yang disembelih, diragukan juga
penyembelihan membaca basmalah.
Apakah cara demikian bisa dibenarkan menurut ajaran Islam?
4. Seorang peternak ayam petelur bercerita ada ayam petelurnya
mati seketika. Si peternak ayam yakin dipantat ayamnya yang sudah mati
itu ada telur yang sudah jadi belum sempat keluar. Oleh si peternak,
telur dari ayam yang sudah mati itu diambil dengan cara mengiris pantat
ayam. Apakah telur yang diambil dari ayam yang sudah mati itu halal?
Atas jawaban pengasuh saya ucapkan terima kasih.Jawaban:
Dari empat pertanyaan di atas ada dua pokok pembahasan, yaitu dua pertanyaan tentang pernikahan dan dua pertanyaan lainnya tentang penyembelihan.
1. Pertanyaan pertama tentang ucapan ijab qabul sebenarnya sudah
pernah dibahas dan dapat dilihat pada buku Tanya Jawab Agama Jilid 2
halaman 144 terbitan Suara Muhammadiyah, sehingga bisa saudara pelajari
kembali. Namun demikian baiklah kami akan menjawabnya. Sebelum menjawab,
perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa keabsahan nikah itu adalah
jika telah terpenuhinya rukun nikah yaitu adanya dua orang mempelai,
wali, dua orang saksi, sighat akad nikah (ijab qabul) dan mahar
(maskawin). Adapun yang dimaksud shighat akad nikah atau ijab qabul
adalah perkataan seorang wali nikah ketika menikahkan anak perempuannya
kepada mempelai pria, ini disebut ijab, dan jawaban mempelai pria untuk
menerimanya, disebut qabul. Shighat akad nikah bisa menggunakan bahasa
Arab atau yang lainnya yang mudah dipahami, hanya saja di kalangan ulama
mensyaratkan dalam akadnya itu dengan menggunakan kata nikah atau kata ziwaj, tidak boleh dengan kata jodoh atau partner atau pasangan dan sebagainya.
Contoh ucapan ijab (kalau walinya ayah mempelai perempuan), adalah:
يَا أحْمَدَ أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ بِنْتِيِّ فَاطِمَةَ بِمَهْرِ الْقُرآنِ
Artinya: “Hai Ahmad, Aku nikahkan dan aku kawinkan engkau dengan anak perempuanku Fatimah dengan maskawin kitab suci al-Qur’an.”
Adapun contoh qabulnya (yang menerima mempelai pria) sebagai berikut:
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِيْ بِاْلمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ
Artinya: “Aku menerima pernikahan dan perkawinannya bagi saya dengan maskawin yang telah disebutkan tadi (kitab suci al-Qur’an).”
Dari uraian di atas, maka untuk menjawab pertanyaan saudara, yang
manakah contoh ucapan qabul yang paling benar, antara: “Saya terima
nikahnya ...” (dengan jawaban ini seolah-olah mempelai wanita menikahi
mempelai pria), atau “Saya terima menikahi ...”, atau “Saya terima”,
pada prinsipnya ketiga bentuk ucapan qabul tersebut benar dan tidak ada
yang salah. Hal ini karena masalah bahasa dan masalah bahasa tidak
menjadi persoalan dengan menggunakan bahasa apapun, asalkan mudah
dipahami dan maknanya benar. Namun demikian, ucapan qabul yang pertama
pada contoh di atas, yaitu: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِيْ بِاْلمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ,
dipandang lebih lengkap dan mudah dipahami, dan tidak berartimaksudnya
seorang mempelai wanita yang menikahi mempelai pria, karena yang
menikahkan itu adalah wali (orang tua) dari mempelai wanita dan mempelai
pria menjawab atau menerima apa yang disampaikan oleh wali nikah tadi.
Perlu kami sampaikan pula, bahwa jika saudara akan menikah atau
menikahkan, sebaiknya menggunakan redaksi ijab qabul yang telah umum
berlaku dan bisa ditanyakan kepada Kantor Urusan Agama setempat selaku
pihak yang berwenang mencatat pernikahan secara Islam.
2. Nikah itu adalah suci, yang dimaksud suci di sini adalah
perbuatan yang terpuji, yang sakral, karena ikatan pernikahan adalah mitsaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Allah SWT berfirman:
y#øx.ur¼çmtRräè{ù's?ôs%ur4Ó|Óøùr&öNà6àÒ÷èt/4n<Î)<Ù÷èt/cõyzr&urNà6ZÏB$¸)»sVÏiB$ZàÎ=xî[النسآء (4): 21]
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.” [QS. an-Nisa (4): 21]
Dengan menikah, orang dapat menahan pandangan serta memelihara kemaluan. Nabi Muhammad saw bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ [رواه البخاري]
Artinya: “Barangsiapa di antara kamu mampu menikah, maka menikahlah
karena nikah dapat menahan pandangan serta memelihara kemaluan
(kesucian).” [HR. al-Bukhari]
Suci di sini tidak dikaitkan dengan sah atau tidak sah pernikahan
seseorang, berbeda dengan ketika seseorang hendak mengerjakan shalat
maka ia harus suci (dari hadas maupun najis), sehingga sebelum shalat
terlebih dahulu harus bersuci dengan berwudlu, mandi atau tayamum sesuai
kondisinya. Tidak sah shalat jika tidak terpenuhi kesucian, karena suci
merupakan bagian dari syarat sahnya shalat.
Sedangkan dalam melangsungkan akad nikah tidak ada persyaratan harus
suci dari hadas maupun najis. Adapun yang disyaratkan oleh agama untuk
terpernuhi sahnya nikah seseorang hendaklah memperhatikan beberapa hal,
di antaranya orang yang dinikahi bukan mahram (lihat QS. an-Nisa [4]: 23), terpenuhi rukun nikahnya seperti adanya wali, sebagaimana sabda Nabi saw: لاَ نِكَاحَ اِلاَ بِوَلِىٍ, artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali” [HR.
Malik], juga disyaratkan bagi seorang wanita yang sudah bercerai dan
akan menikah lagi harus menunggu masa iddahnya sesuai dengan bentuk dan
lamanya masa iddah, seperti iddah karena cerai baik yang belum atau
sudah haid, iddah karena hamil maupun karena ditinggal wafat suaminya.
Kesimpulannya, orang boleh menikah walaupun dalam keadaan tidak suci
(punya hadas dan belum berwudhu) atau dalam keadaan haid (belum mandi
wajib karena belum selesai haidnya) dan nikahnya tetap sah karena tidak
ada syarat harus suci dari hadas maupun najis ketika akan menikah.
3. Sebelum menjawab pertanyaan saudara tentang ayam yang
disembelih dan langsung dimasukkan ke air panas untuk dicabut bulunya,
perlu kami jelaskan terlebih dahulu tentang sembelihan yang benar
menurut ajaran Islam agar tidak ada kesalahan dalam proses penyembelihan
dan tidak ada keraguan tentang kehalalan dari binatang yang disembelih
tersebut.
Sembelihan adalah semua binatang halal untuk dimakan yang disembelih baik dengan cara berbaring (dzabh) maupun dengan cara berdiri (nahr) pada saat penyembelihan. Yang dimaksud dengan dzabh adalah menyembelih dengan posisi hewan berbaring dengan cara memotong tenggorokan dan dua urat lehernya, sedangkan nahr adalah menyembelih dengan posisi hewan tetap berdiri seperti menusuk unta pada bagian libbahnya. Libbah
adalah tempat menggantungkan kalung pada leher, dan itu adalah posisi
di mana alat penyembelihan dapat mencapai hati sehingga binatang yang
disembelih akan mati dengan cepat.
Penyembelihan dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Alat penyembelihan harus tajam, yang dapat mengalirkan darah,
berdasarkan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin
Khadij. Ia berkata:
يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنَّا لاَقُوْا العَدُوَ غَدًا وَلَيْسَ مَعَنَا
مُدًىقاَلَ ماَ اَنْهَرَ الدَمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ
لَيْسَ السِنَ وَالظُفْرَ وَسَأُحَدِثُكَ أَماَ السِنُ فَعَظْمٌ وَاَمَا
الظُفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ [رواه أحمد والبيهقي]
Artinya: “Ya Rasulullah sesungguhnya kami besok akan berhadapan
dengan musuh dan kami tidak mempunyai pisau (untuk sembelih). Maka Nabi
saw bersabda: Apa saja yang bisa mengalirkan darah dan disebutkan
atasnya nama Allah, makanlah (sembelihan tersebut) apabila yang dipakai
untuk penyembelihan itu bukan dengan gigi dan kuku. Dan saya akan
menerangkan itu kepadamu. Adapun gigi itu adalah tulang dan adapun kuku
itu adalah pisau menurut kaum Habasyah.” [HR. Ahmad dan al-Baihaqi]
b. Menyebutkan nama Allah atau membaca basmalah saja, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-An’am (6): 121;
wur(#qè=à2ù's?$£JÏBóOs9Ìx.õãÞOó$#«!$#Ïmøn=tã¼çm¯RÎ)ur×,ó¡Ïÿs93¨bÎ)urúüÏÜ»u¤±9$#tbqãmqãs9#n<Î)óOÎgͬ!$uÏ9÷rr&öNä.qä9Ï»yfãÏ9(÷bÎ)uröNèdqßJçG÷èsÛr&öNä3¯RÎ)tbqä.Îô³çRmQÇÊËÊÈ[الأنعام (6): 121]
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan
kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu
menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-arang yang
musyrik.”
c. Memotong tenggorokan dan dua urat leher dalam satu gerakan.
d. Penyembelih adalah seorang muslim berakal yang sudah baligh.
Madzhab Hanafi membolehkan penyembelih adalah seorang ahli kitab.
Dari uraian di atas, maka dalam kasus yang saudara ajukan, jika sudah
terpenuhi semua persyaratan di atas dan sudah jelas ayam tersebut mati,
tidak salah jika langsung dimasukkan ke dalam air panas untuk proses
cabut bulu. Namun jika ayam belum mati secara sempurna, sebaiknya tidak
langsung dimasukkan ke dalam air panas karena bisa jadi ayam tersebut
akan merasakan sakit yang lebih lama daripada disembelih itu sendiri.
Hal ini karena selain harus terpenuhinya syarat-syarat di atas, juga
harus diperhatikan pula adab atau etika kepada hewan tersebut, seperti
tidak dengan alat sembelihan yang tumpul sehingga lebih terasa sakitnya
dan lama matinya, tidak menampakkan alat sembelihan di hadapan hewan
yang akan disembelih dan tidak menguliti sebelum matinya sempurna,
termasuk memasukkannya ke dalam air panas untuk cabut bulu. Beberapa
hadis yang menjelaskan tentang hal ini antara lain adalah:
a. Hadis dari Syadad bin Aus, bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِنَ الله َكَتَبَ الْإحْسَانَ عَلىَ كُلِ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا اْلقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِبْحَ
وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ.[رواه مسلم]
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk berbuat
ihsan (kebaikan) pada tiap-tiap urusan, maka apabila kamu membunuh maka
perbaikilah cara membunuhnya, dan apabila kamu menyembelih maka
perbaikilah cara sembelihannya dan tajamkanlah pisaumu dan entengkanlah
binatang sembelihanmu.” [HR. Muslim]
b. Hadis dari Ibnu Umar:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ اَمَرَ اَنْ تُحَدَّ الشِفَارُ وَاَنْ تُوَارَ عَنِ
اْلبَهَائَِمِ وَقَالَ : اِذَا ذَبَحَ اَحَدُكُمْ فَلْيَجْهَزْ. [رواه أحمد
وابن ماجه]
Artinya: “Bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan supaya pisau itu
ditajamkan dan supaya tidak dinampakkan kepada binatang-binatang, dan
beliau bersabda: Apabila seorang daripada kamu menyembelih. maka
hendaklah ia bikin mati dengan lekas.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
Sedangkan mengenai membaca basmalah ketika menyembelih, yakni apakah
sembelihan orang Islam sudah dianggap sah sekalipun tidak membaca
basmalah, di sini memang terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat
perlu kita hargai dan kami berpendapat bahwa sembelihan orang Islam itu
halal dimakan sekalipun ketika menyembelih itu tidak membaca basamalah,
hal ini berdasarkan alasan:
a. Firman Allah SWT dalam surat al-Maidah (5): 3;
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, …” [QS. al-Maidah (5): 3]
Kalimat وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ, “dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya ...”. Kalimat “melainkan apa yang telah kamu sembelih” maksudnya adalah orang Islam.
b. Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ : يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ مِنَّا يَذْبَحُ وَيَنْسَى أَنْ
يُسَمِّىَ فَقَالَ النَّبِىُّ اسْمُ اللَّهِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ [رواه
البيهقي]
Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw kemudian
berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana engkau memandang kepada seorang
lelaki yang menyembelih tetapi kelupaan menyebut nama Allah? Nabi saw
menjawab: Bahwa nama Allah itu ada pada tiap-tiap orang Islam.” [HR. al-Baihaqi]
c. Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ الْمُسْلِمُ يَكْفِيهِ
اسْمُهُ فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يُسَمِّىَ حِينَ يَذْبَحُ فَلْيُسَمِّ
وَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ لْيَأْكُلْ. [رواه الدارقطني والبيهقي]
Artinya: “Bahwanya Nabi saw pernah bersabda: Orang Islam itu
dicukupi oleh namanya (sendiri). Apabila kelupaan menyebut basmalah
tatkala menyembelih, maka segera membaca “basmalah” kemudian makanlah.” [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi]
d. Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Aisyah:
إِنَّ قَوْمًا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُوْنَنَا
بِالَلحْمِ وَلاَ نَدْرِيْ أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم سَمُوا اللهَ عَلَيْهِ
وَكُلُوْهُ. [رواه البخاري]
Artinya: “Sesungguhnya ada suatu kaum bertanya: Wahai Rasulullah
sesungguhnya orang-orang biasa datang kepada kami sambil membawa daging
padahal kami tidak mengetahui apakah mereka itu sudah disembelih dengan
menyebut nama Allah atau belum. Maka Rasulullah saw bersabda: Sebutlah
nama Allah padanya kemudian makanlah.” [HR. al-Bukhari]
Berdasar pada keterangan di atas, maka bagi seseorang yang akan
menyembelih hendaklah diawali dengan membaca basmalah dan seorang muslim
hendaknya berhusnudz-dzan (prasangka baik) bahwa sembelihan seorang
muslim lain itu adalah halal sekalipun terlupa atau tidak membaca
basmalah sama sekali. Jika sembelihan dalam jumlah yang banyak yang
tidak mungkin membaca basmalah setiap satu ekor ayam yang disembelih,
maka dicukupkan membacanya sekali di awal penyembelihan, dan bagi kita
yang memakannya dicukupkan dengan membaca basmalah ketika akan makan
jika penyembelihnya seorang muslim.
4. Perlu diketahui bahwa makanan yang diharamkan telah dijelaskan
dalam al-Qur’an maupun hadis. Firman Allah dalam al-Qur’an surat
al-Maidah (5): 3;
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, …” [QS. al-Maidah (5): 3]
Di antara makanan yang diharamkan adalah bangkai. Yang dimaksud bangkai
adalah binatang yang mati secara alami seperti tercekik, terpukul,
tertanduk oleh binatang lain atau diterkam binatang buas. Berkaitan
dengan pertanyaan saudara, ayam yang sudah mati jelas haram dimakan
karena termasuk kategori bangkai. Namun, apakah telor yang ada pada
dubur ayam yang sudah mati tersebut termasuk haram atau tidak? Memakan
telor dari binatang yang bertelor yang keluar pada waktu hidupnya tidak syak
(ragu) lagi tentang halalnya, baik binatang yang hidup di darat maupun
yang hidup di air. Sedangkan telor dari binatang yang sudah mati karena
disembelih itupun jelas halalnya. Namun jika matinya karena tidak
disembelih, bisa jadi ada yang beranggapan haram lantaran keluarnya dari
binatang yang sudah menjadi bangkai, maka telornya pun ikut menjadi
bangkai, jadi sama haramnya.
Dalam pandangan kami, bahwa telor yang ada pada dubur ayam yang sudah
mati pada dasarnya tetap halal untuk dimakan, sekalipun ayam tersebut
mati tanpa disembelih. Hal ini karena telor tersebut telah keluar dari
perut ayam, hanya saja belum sempat keluar dari dubur ayam yang kemudian
mati mendadak tersebut, sehingga bukan bagian dari bangkai. Meskipun
demikian, yang perlu diwaspadai adalah penyebab kematian ayam yang
mendadak tersebut, karena bisa jadi karena penyakit yang berbahaya,
seperti flu burung misalnya. Oleh sebab itu, meskipun pada dasarnya
telor tersebut halal untuk dimakan, namun demi menjaga kesehatan
sebaiknya tidak usah dikonsumsi, mengingat kematian ayam yang mendadak
tersebut bisa jadi karena penyakit yang bisa menular melalui telornya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.*aySumber : http://kediri.muhammadiyah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar